Asuhan Keperawatan Kejang Demam Anak
A.
DEFINISI
Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu
penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9o−40,0oC).
Kejang demam berlangsung kurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada
anak-anak tanpa kecacatan neurologik. (Muscari, 2005)
Kejang demam juga dapat diartikan sebagai suatu kejang
yang terjadi pada usia antara 3 bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan
demam namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang
jelas. (Meadow, 2005)
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang dapat
terjadi karena peningkatan suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi
antara usia 6 bulan - 4 tahun, lamanya kurang dari 15 menit dapat bersifat umum
dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam. (Hidayat, 2008)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh
sebagai akibat proses ekstrakranium (pajanan dari suatu penyakit yang dicirikan
dengan demam tinggi dimana suhunya berkisar antara 38,9o − 40,0oC)
namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas.
Kejang demam ini lebih sering terjadi pada anak usia 6 bulan – 5 tahun, dengan
lama kejang kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam
setelah timbulnya demam
B.
ETIOLOGI
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui
secara jelas. Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan
atas, infeksi saluran kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum
dengan pergerakan klonik selama kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak ada
tanda-tanda defisit neurologis pada saat serangan telah menghilang. Sekitar
sepertiga akan mengalami kejang demam kembali jika terjadi demam, tetapi sangat
jarang yang mengalami kejang setelah usia 6 tahun. Kejang yang lama, fokal,
atau berulang, atau gambaran EEG yang abnormal 2 minggu setelah kejang,
menunjukkan diagnosis epilepsi (kejang nondemam berulang). (Meadow, 2005)
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang
berperan dalam menyebabkan kejang demam antara lain :
1)
Demam
itu sendiri
2)
Efek
produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
3)
Respon
alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4)
Perubahan
keseimbangan cairan atau elektrolit.
5) Ensefalitis
viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensekalopati toksik sepintas.
6)
Gabungan
semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam
dibedakan menjadi intrakranial dan ekstrakranial.
Intrakranial meliputi :
1)
Trauma
(perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
2)
Infeksi:
bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3)
Congenital
: disgesenis, kelainan serebri
Ekstrakranial meliputi:
1)
Gangguan
metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit (Na
dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
2)
Toksik
: intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3)
Congenital:
gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan kekurangan piridoksin.
Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu :
1)
Riwayat
kejang dalam keluarga
2)
Usia
kurang dari 18 bulan
3)
Tingginya
suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang demam, semakin
kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
4)
Lamanya
demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak mulainya demam dengan kejang, maka
semakin besar risiko kejang demam berulang.
C.
KLASIFIKASI KEJANG
1.
Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
a.
Kejang
Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau
kombinasi dari hal-hal berikut :
1)
Tanda
motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian tubuh, biasanya gerakan
yang sama terjadi pada setiap kejang, dan dapat menjadi merata.
2)
Tanda
dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah, dilatasi pupil.
3)
Gejala-gejala
somatosensori atau sensori khusus – mendengar suara musaik, merasa jatuh dalam
suatu ruang, parestesia.
4)
Gejala-gejala
fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan, penglihatan panoramik. (Betz,
2009)
b.
Kejang
Parsial Kompleks
1)
Gangguan
kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai suatu kejang parsial
sederhana.
2)
Dapat
melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir mengecap, mengunyah,
mengorek berulang, atau gerakan tangan lainnya.
3)
Dapat
tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)
2.
Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
a.
Kejang
Lena
1)
Gangguan
kesadaran dan keresponsifan.
2)
Dicirikan
dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang dari 15 detik.
3)
Awitan
dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan mempunyai perhatian penuh.
4)
Biasanya
dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang pada usia 18 tahun. (Betz,
2009)
b.
Kejang
Mioklonik
1)
Hentakan
otot atau kelompok otot yang mendadak dan involunter.
2)
Sering
terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila patologis melibatkan
hentakan leher, bahu, lengan atas, dan tungkai secara sinkron.
3)
Biasanya
berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
4)
Biasanya
tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat kesadaran singkat. (Betz, 2009)
c.
Kejang
Tonik-klonik (grand mal)
1)
Dimulai
dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku otot ekstremitas, tubuh, dan
wajah secara keseluruhan yang berakhir kurang dari satu meit, sering didahuluioleh
suatu aura.
2)
Kemungkinan
kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
3)
Tidak
ada respirasi dan sianosis.
4)
Bagian
tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas atas dan bawah.
5)
Letargi,
konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
d.
Kejang
Atonik
1)
Kehilangan
tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya kelopak mata, kepala
terkulai, atau orang tersebut jatuh ke tanah.
2)
Singkat
dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
e.
Status
Epileptikus
1)
Biasanya
kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
2)
Kesadaran
antara kejang tidak didapat.
3)
Potensial
depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
4)
Memerlukan
penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)
D.
PATOFISIOLOGI
Pada anak mudah sekali untuk terinfeksi bakteri, virus
dan parasit yang mengakibatkan reaksi inflamasi dan terjadinya proses demam
sehingga menjadi hipotermi maka terjadi demam. Demam akan menimbulkan proses
peradangan maka anak akan mengalami anoreksi maka akan muncul diagnosa
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang yang dapat mengakibatkan
resiko cedera. Kejang dengan frekuensi lebih dari 15 menit akan menyebabkan
perubahan suplay darah ke otak sehinnga terjadi hipoksia kemudian permeabilitas
kapiler meningkat akan mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri
dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1)
Perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2)
Rangsangan
yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya
3)
Perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1áµ’C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih
dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi
artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat
yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme
otak meningkat.
E.
PATHWAY
F.
TEMUAN PENGKAJIAN
1.
Manifestasi klinis
a.
Sebagian
besar aktivitas kejang berhenti pada saat anak mendapatkan pertolongan medis,
tetapi anak mungkin dalam keadaan tidak sadar. (Muscari, 2005)
b.
Orang
tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi kejang tonik-tonik (yi.,
tonik−kontraksi otot, ekstensi ekstremitas, kehilangan kontrol defekasi dan kandung
kemih, sianosis, dan kehilangan kesadaran; klonik−kontraksi dan relaksasi
ekstremitas yang teratur (ritmik); fase postiktal dikarakteristikkan dengan
ketidaksadaran persisten). (Muscari, 2005)
c.
Sering
ditemukan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam. (Muscari, 2005)
d.
Suhu
tubuh mencapai 39oC. (Dewanto, 2009)
e.
Kepala
anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku,
bagian tubuh anak menjadi berguncang, gejala kejang bergantung pada jenis
kejang. (Dewanto, 2009)
f.
Kulit
pucat dan mungkin menjadi biru. (Dewanto, 2009)
2.
Temuan pemeriksaan diagnostik dan laboratorium
a.
Elektroensefalografi
(EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus kejang. (Betz, 2009)
b.
CT
scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz, 2009)
c.
Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT. (Betz,
2009)
d.
Pemindaian
Positron Emission Tomography (PET) :
untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi,
perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak. (Betz, 2009)
e.
Uji
laboratorium
1. Pungsi
lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama dipakai untuk
menyingkirkan infeksi.
2.
Hitung
darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3.
Panel
elektrolit
4.
Skrining
toksik dari serum dan urin
5.
GDA
6.
Kadar
kalsium darah
7.
Kadar
natrium darah
8.
Kadar
magnesium darah. (Betz, 2009)
G.
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Bila kejang berhenti dengan algoritma tata laksana
kejang, maka dilanjutkan dengan terapi profilaksis intermiten atau rumatan pada
saat demam berupa :
1) Antipiretik
: parasetamol 10-15 mg/kg/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kg/hari
tiap 4-6 jam.
2)
Antikejang
: diazepam oral 0,3 mg/kg/dosis tiap 8 jam saat demam atau diazepam rektal 0,5
mg/kg/hari setiap 12 jam saat demam.
3)
Pengobatan
jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan pada kasus kejang demam
kompleks dengan faktor risiko. Obat yang digunakan adalah fenobarbital 3-5
mg/kg/hari atau asam valproat 15-20 mg/kg/hari. (Dewanto, 2009)
H.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.
Pengkajian
Data Fokus
·
Badan terasa panas
·
Adanya mual dan
muntah
·
Adanya
kesulitan saat bernafas
·
Adanya
aktivitas kejang berulang, pergerakan otot tidak terkoordinasi, kelemahan
·
Merasa tidak
nyaman, gerah.
·
Adanya
kekhawatiran orang tua.
·
Membran mukosa
/ kulit kering
·
Perubahan
tonus/kekuatan otot, gerakan involunter/ kontraksi sekelompok otot.
·
Penurunan
kesadaran
·
Tingkah laku
distraksi/gelisah.
·
Saliva keluar
berlebih.
2.
Diagnosa keperawatan
Berdasarkan Carpenito (2001) dan Doenges, (2000), diagnosa keperawatan yang
sering muncul pada pasien kejang demam adalah :
a.
Hipertermi
berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi
a.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat.
b.
Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan penurunan masukan oral.
c.
Risiko
terjadinya kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
d.
Risiko terhadap
cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik sekunder akibat kejang.
e.
Bersihan jalan
nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
f.
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan
perawatan.
g.
Risiko terhadap
perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
3.
Rencana Asuhan Keperawatan
a.
Hipertermi
berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi.
Tujuan : suhu tubuh normal : 36,5 – 37oC
Intervensi :
1)
Kaji faktor penyebab
terjadinya hipertermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi. Penambahan
pakaian/selimut dapat menghambat penurunan panas.
2)
Observasi tanda-tanda
vital tiap 4 jam.
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan
perkembangan perawatan.
3)
Pertahankan
suhu tubuh normal.
Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu
lingkungan, kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
4)
Beri kompres
dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduktif
5)
Longgarkan
pakaian, berikan pakaian yang tipis yang menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat.
6)
Beri ekstra cairan
(air, susu, sari buah dll).
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
7)
Batasi
aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan
produksi panas.
8)
Kolaborasi
dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional :menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.
9)
Kolaborasi
dalam pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
Rasional : peningkatan kadar WBC merupakan indicator adanya infeksi
b.
Resiko terjadi
kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
Tujuan : Kejang berulang tidak terjadi.
Intervensi :
1)
Observasi
kejang dan dokumentasikan karakteristiknya : awitan dan durasi, kejadian pra
kejang dan pasca kejang.
Rasional :Untuk mengetahui kejang secara dini dan jika ada kelainan akibat
kejang.
2)
Longgarkan
pakaian, berikan pakaian tipis yang menyerap keringat.
Rasional : proses konfeksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak
menyerap keringat.
3)
Beri kompres
hangat
Rasional : pembuluh darah dilatasi, panas keluar.
4)
Beri extra
cairan (air, susu, sari buah dan lain-lain).
Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
5)
Observasi
kejang dan tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.
6)
Kolaborasi
dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan Sebagai propilaksis.
c.
Bersihan jalan
nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif.
Intervensi :
1)
Lakukan suction
Rasional : Untuk rnengeluarkan cairan atau sekret yang ada dalam saluran
pernafasan.
2)
Setelah kejang
berikan pasien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas
dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Untuk mencegah bila terjadi aspirasi, isi lambung tidak menutupi
jalan nafas.
3)
Atur tempat
tidur di bagian kepala ditinggikan kurang lebih 45oC.
Rasional : Kepala lebih tinggi akan memudahkan pasien dalam bernafas.
4)
Berikan tongue
spatel antara gigi dan lidah.
Rasional : Untuk mencegah resiko cidera yaitu lidah tergigit
d.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat.
Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi.
Intervensi :
1)
Kaji kemampuan
pasien untuk mengunyah, menelan batuk dan mengatasi sekresi.
Rasional : faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan.
2)
Auskultasi
bising usus, catat adanya penurunan atau hilangnya atau suara yang hiperaktif.
Rasional :bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau
berkembangnya komplikasi.
3)
Timbang berat
badan sesuai indikasi.
Rasional :mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian
nutrisi.
4)
Berikan makan
dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
Rasional :meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap
nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
5)
Tingkatkan
kenyamanan lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan.
Rasional : sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat
meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
6)
Kolaborasi
dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
Rasional : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan
kalori atau nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan
penyakit sekarang.
e.
Kekurangan
volume cairan kebutuhan penurunan masukan oral.
Tujuan : Cairan pasien adekuat.
Intervensi :
1)
Awasi
tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : kekurangan atau perpindahan cairan menurunkan tekanan darah,
mengurangi volume nadi.
2)
Catat
perkembangan turgor kulit, hidrasi, membran mukosa.
Rasional :kekurangan cairan juga dapat diidentifikasi dengan penurunan
turgor kulit, membran mukosa kering.
3)
Ukur atau
hitung masukan, pengeluaran dan keseimbangan cairan, catat kehilangan tidak
tampak (IWL).
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan umum, kecenderungan
keseimbangan cairan negatif dapat menunjukkan terjadi defisit.
4)
Timbang berat
badan setiap hari.
Rasional : perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam air tubuh total.
5)
Kolaborasi dalam
pemberian cairan intravena.
Rasional : salah satu cara untuk memenuhi keseimbangan cairan dalam tubuh
ialah dengan cara pemberian melalui parentral.
f.
Risiko terhadap
cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik skunder akibat kejang.
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Intervensi :
1)
Beri pengaman
pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah.
Rasional : Meminimalkan injuri saat kejang.
2)
Jangan tinggalkan
klien selama fase kejang.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien.
3)
Beri tongue spatel
antara gigi dan lidah.
Rasional : Menurunkan resiko trauma pada mulut.
4)
Letakkan klien
pada tempat tidur yang lembut.
Rasional : Membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstremitas ketika
kontrol otot volunter berkurang.
5)
Setelah kejang
berikan klien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas dan
ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Mencegah penutupan jalan nafas.
6)
Kendurkan
pakaian pasien.
Rasional : Mengurangi tekanan pada jalan nafas.
7)
Catat tipe dan frekuensi
kejang.
Rasional : Membantu menurunkan lokasi area cereberal yang terganggu.
8)
Catat
tanda-tanda vital setelah fase kejang.
Rasional : Mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.
g.
Kurangnya
pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan
perawatan.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya
Intervensi :
1)
Kaji tingkat
pengetahuan keluarga.
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan
kebenaran informasi yang didapat.
2)
Beri penjelasan
kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam.
Rasional : Penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah
wawasan keluarga.
3)
Berikan Health
Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam.
Rasional : Agar keluarga mengetahui cara menolong anak kejang dan rnencegah
kejang demam.
4)
Jelaskan setiap
tindakan keperawatan yang dilakukan.
Rasional : Agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.
h.
Risiko terhadap
perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
Tujuan : Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan.
Intervensi :
1)
Cegah
terjadinya kejang berulang.
Rasional : dengan tidak terjadinya kejang berulang dapat mencegah
terjadinya kerusakan motorik dan sensorik.
2)
Konsul dengan
ahli terapi untuk mengevaluasi obat sesuai indikasi.
Rasional : Pengobatan yang teratur akan dapat mencegah terjadinya gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.
3)
Berikan anak
latihan dan kesempatam meningkatkan hubungan sosial.
Rasional : Latihan dan hubungan sosial dengan orang lain dapat membantu pertumbuhan
dan perkembangan.
4)
Berikan nutrisi
yang cukup/memenuhi kebutuhan tubuh.
Rasional : Nutrisi akan dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : EGC
Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta : EGC
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta :
salemba Medika
Meadow, Sir Roy. 2005. Lecture Notes Pediatrika Ed. 7. Jakarta : Erlangga
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta : EGC
0 komentar
Posting Komentar