Sabtu, 11 Agustus 2018

Asuhan Keperawatan Kejang Demam Anak

 Asuhan Keperawatan Kejang Demam Anak


A.      DEFINISI
Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9o−40,0oC). Kejang demam berlangsung kurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada anak-anak tanpa kecacatan neurologik. (Muscari, 2005)
Kejang demam juga dapat diartikan sebagai suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3 bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. (Meadow, 2005)
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang dapat terjadi karena peningkatan suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi antara usia 6 bulan - 4 tahun, lamanya kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam. (Hidayat, 2008)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh sebagai akibat proses ekstrakranium (pajanan dari suatu penyakit yang dicirikan dengan demam tinggi dimana suhunya berkisar antara 38,9o − 40,0oC) namun tanpa adanya tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. Kejang demam ini lebih sering terjadi pada anak usia 6 bulan – 5 tahun, dengan lama kejang kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam

B.       ETIOLOGI
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas. Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan atas, infeksi saluran kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum dengan pergerakan klonik selama kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak ada tanda-tanda defisit neurologis pada saat serangan telah menghilang. Sekitar sepertiga akan mengalami kejang demam kembali jika terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami kejang setelah usia 6 tahun. Kejang yang lama, fokal, atau berulang, atau gambaran EEG yang abnormal 2 minggu setelah kejang, menunjukkan diagnosis epilepsi (kejang nondemam berulang). (Meadow, 2005)
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang berperan dalam menyebabkan kejang demam antara lain :
1)        Demam itu sendiri
2)        Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
3)        Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4)        Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
5)      Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensekalopati toksik sepintas.
6)        Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam dibedakan menjadi intrakranial dan ekstrakranial.
Intrakranial meliputi :
1)        Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
2)        Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3)        Congenital : disgesenis, kelainan serebri

Ekstrakranial meliputi:
1)        Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
2)        Toksik : intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3)        Congenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan kekurangan piridoksin.

Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu :
1)        Riwayat kejang dalam keluarga
2)        Usia kurang dari 18 bulan
3)        Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang demam, semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
4)        Lamanya demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak mulainya demam dengan kejang, maka semakin besar risiko kejang demam berulang.

C.      KLASIFIKASI KEJANG
1.         Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
a.         Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari hal-hal berikut :
1)        Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian tubuh, biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang, dan dapat menjadi merata.
2)        Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah, dilatasi pupil.
3)        Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus – mendengar suara musaik, merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
4)        Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan, penglihatan panoramik. (Betz, 2009)
b.        Kejang Parsial Kompleks
1)        Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai suatu kejang parsial sederhana.
2)        Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir mengecap, mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan lainnya.
3)        Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)
2.         Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
a.         Kejang Lena
1)        Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
2)        Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang dari 15 detik.
3)        Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan mempunyai perhatian penuh.
4)        Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang pada usia 18 tahun. (Betz, 2009)
b.        Kejang Mioklonik
1)        Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan involunter.
2)        Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila patologis melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan tungkai secara sinkron.
3)        Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
4)        Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat kesadaran singkat. (Betz, 2009)
c.         Kejang Tonik-klonik (grand mal)
1)        Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku otot ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang berakhir kurang dari satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
2)        Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
3)        Tidak ada respirasi dan sianosis.
4)        Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas atas dan bawah.
5)        Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
d.        Kejang Atonik
1)        Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya kelopak mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke tanah.
2)        Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
e.         Status Epileptikus
1)        Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
2)        Kesadaran antara kejang tidak didapat.
3)        Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
4)        Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)

D.      PATOFISIOLOGI
Pada anak mudah sekali untuk terinfeksi bakteri, virus dan parasit yang mengakibatkan reaksi inflamasi dan terjadinya proses demam sehingga menjadi hipotermi maka terjadi demam. Demam akan menimbulkan proses peradangan maka anak akan mengalami anoreksi maka akan muncul diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang yang dapat mengakibatkan resiko cedera. Kejang dengan frekuensi lebih dari 15 menit akan menyebabkan perubahan suplay darah ke otak sehinnga terjadi hipoksia kemudian permeabilitas kapiler meningkat akan mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
1)        Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
2)        Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
3)        Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1áµ’C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.

E.       PATHWAY


F.       TEMUAN PENGKAJIAN
1.         Manifestasi klinis
a.         Sebagian besar aktivitas kejang berhenti pada saat anak mendapatkan pertolongan medis, tetapi anak mungkin dalam keadaan tidak sadar. (Muscari, 2005)
b.        Orang tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi kejang tonik-tonik (yi., tonik−kontraksi otot, ekstensi ekstremitas, kehilangan kontrol defekasi dan kandung kemih, sianosis, dan kehilangan kesadaran; klonik−kontraksi dan relaksasi ekstremitas yang teratur (ritmik); fase postiktal dikarakteristikkan dengan ketidaksadaran persisten). (Muscari, 2005)
c.         Sering ditemukan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam. (Muscari, 2005)
d.        Suhu tubuh mencapai 39oC. (Dewanto, 2009)
e.         Kepala anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang, gejala kejang bergantung pada jenis kejang. (Dewanto, 2009)
f.         Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. (Dewanto, 2009)
2.         Temuan pemeriksaan diagnostik dan laboratorium
a.         Elektroensefalografi (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus kejang. (Betz, 2009)
b.        CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz, 2009)
c.         Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT. (Betz, 2009)
d.        Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak. (Betz, 2009)
e.         Uji laboratorium
1.   Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama dipakai untuk menyingkirkan infeksi.
2.        Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3.        Panel elektrolit
4.        Skrining toksik dari serum dan urin
5.        GDA
6.        Kadar kalsium darah
7.        Kadar natrium darah
8.        Kadar magnesium darah. (Betz, 2009)


G.      PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Bila kejang berhenti dengan algoritma tata laksana kejang, maka dilanjutkan dengan terapi profilaksis intermiten atau rumatan pada saat demam berupa :
1)     Antipiretik : parasetamol 10-15 mg/kg/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kg/hari tiap 4-6 jam.
2)        Antikejang : diazepam oral 0,3 mg/kg/dosis tiap 8 jam saat demam atau diazepam rektal 0,5 mg/kg/hari setiap 12 jam saat demam.
3)     Pengobatan jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan pada kasus kejang demam kompleks dengan faktor risiko. Obat yang digunakan adalah fenobarbital 3-5 mg/kg/hari atau asam valproat 15-20 mg/kg/hari. (Dewanto, 2009)

H.      Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1.         Pengkajian
Data Fokus
·           Badan terasa panas
·           Adanya mual dan muntah
·           Adanya kesulitan saat bernafas
·           Adanya aktivitas kejang berulang, pergerakan otot tidak terkoordinasi, kelemahan
·           Merasa tidak nyaman, gerah.
·           Adanya kekhawatiran orang tua.
·           Membran mukosa / kulit kering
·           Perubahan tonus/kekuatan otot, gerakan involunter/ kontraksi sekelompok otot.
·           Penurunan kesadaran
·           Tingkah laku distraksi/gelisah.
·           Saliva keluar berlebih.

2.         Diagnosa keperawatan
Berdasarkan Carpenito (2001) dan Doenges, (2000), diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien kejang demam adalah :
a.         Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi
a.         Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
b.        Kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan masukan oral.
c.         Risiko terjadinya kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
d.        Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik sekunder akibat kejang.
e.         Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
f.         Kurang pengetahuan berhubungan dengan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan.
g.        Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
3.         Rencana Asuhan Keperawatan
a.         Hipertermi berhubungan dengan ketidakefektifan regulasi suhu sekunder terhadap infeksi.
Tujuan : suhu tubuh normal : 36,5 – 37oC
Intervensi :
1)        Kaji faktor penyebab terjadinya hipertermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hipertermi. Penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan panas.
2)        Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan.
3)        Pertahankan suhu tubuh normal.
Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggi akan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
4)        Beri kompres dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduktif
5)        Longgarkan pakaian, berikan pakaian yang tipis yang menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat.
6)        Beri ekstra cairan (air, susu, sari buah dll).
Rasional :saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
7)        Batasi aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolisme sehingga meningkatkan produksi panas.
8)        Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional :menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis.
9)        Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
Rasional : peningkatan kadar WBC merupakan indicator adanya infeksi
b.        Resiko terjadi kejang berulang berhubungan dengan hipertermi.
Tujuan : Kejang berulang tidak terjadi.
Intervensi :
1)        Observasi kejang dan dokumentasikan karakteristiknya : awitan dan durasi, kejadian pra kejang dan pasca kejang.
Rasional :Untuk mengetahui kejang secara dini dan jika ada kelainan akibat kejang.
2)        Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang menyerap keringat.
Rasional : proses konfeksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat.
3)        Beri kompres hangat
Rasional : pembuluh darah dilatasi, panas keluar.
4)        Beri extra cairan (air, susu, sari buah dan lain-lain).
Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
5)        Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam.
Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.
6)        Kolaborasi dalam pemberian antibiotik, antipiretik.
Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan Sebagai propilaksis.
c.         Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret.
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif.
Intervensi :
1)        Lakukan suction
Rasional : Untuk rnengeluarkan cairan atau sekret yang ada dalam saluran pernafasan.
2)        Setelah kejang berikan pasien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Untuk mencegah bila terjadi aspirasi, isi lambung tidak menutupi jalan nafas.
3)        Atur tempat tidur di bagian kepala ditinggikan kurang lebih 45oC.
Rasional : Kepala lebih tinggi akan memudahkan pasien dalam bernafas.
4)        Berikan tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional : Untuk mencegah resiko cidera yaitu lidah tergigit
d.        Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Nutrisi pasien terpenuhi.
Intervensi :
1)        Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan batuk dan mengatasi sekresi.
Rasional : faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan.
2)        Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan atau hilangnya atau suara yang hiperaktif.
Rasional :bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi.
3)        Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional :mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4)        Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.
Rasional :meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
5)        Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan.
Rasional : sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.
6)        Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
Rasional : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori atau nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang.
e.         Kekurangan volume cairan kebutuhan penurunan masukan oral.
Tujuan : Cairan pasien adekuat.
Intervensi :
1)        Awasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : kekurangan atau perpindahan cairan menurunkan tekanan darah, mengurangi volume nadi.
2)        Catat perkembangan turgor kulit, hidrasi, membran mukosa.
Rasional :kekurangan cairan juga dapat diidentifikasi dengan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering.
3)        Ukur atau hitung masukan, pengeluaran dan keseimbangan cairan, catat kehilangan tidak tampak (IWL).
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan umum, kecenderungan keseimbangan cairan negatif dapat menunjukkan terjadi defisit.
4)        Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : perubahan cepat menunjukkan gangguan dalam air tubuh total.
5)        Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena.
Rasional : salah satu cara untuk memenuhi keseimbangan cairan dalam tubuh ialah dengan cara pemberian melalui parentral.
f.         Risiko terhadap cidera berhubungan dengan gerakan tonik/klonik skunder akibat kejang.
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Intervensi :
1)        Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah.
Rasional : Meminimalkan injuri saat kejang.
2)        Jangan tinggalkan klien selama fase kejang.
Rasional : Meningkatkan keamanan pasien.
3)        Beri tongue spatel antara gigi dan lidah.
Rasional : Menurunkan resiko trauma pada mulut.
4)        Letakkan klien pada tempat tidur yang lembut.
Rasional : Membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstremitas ketika kontrol otot volunter berkurang.
5)        Setelah kejang berikan klien posisi miring, bila tidak memungkinkan angkat dagunya ke atas dan ke depan dengan kepala mendongak ke belakang.
Rasional : Mencegah penutupan jalan nafas.
6)        Kendurkan pakaian pasien.
Rasional : Mengurangi tekanan pada jalan nafas.
7)        Catat tipe dan frekuensi kejang.
Rasional : Membantu menurunkan lokasi area cereberal yang terganggu.
8)        Catat tanda-tanda vital setelah fase kejang.
Rasional : Mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.
g.        Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit dan perawatan.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya
Intervensi :
1)        Kaji tingkat pengetahuan keluarga.
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang didapat.
2)        Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam.
Rasional : Penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga.
3)        Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam.
Rasional : Agar keluarga mengetahui cara menolong anak kejang dan rnencegah kejang demam.
4)        Jelaskan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan.
Rasional : Agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan.
h.        Risiko terhadap perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kejang berulang.
Tujuan : Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan.
Intervensi :
1)        Cegah terjadinya kejang berulang.
Rasional : dengan tidak terjadinya kejang berulang dapat mencegah terjadinya kerusakan motorik dan sensorik.
2)        Konsul dengan ahli terapi untuk mengevaluasi obat sesuai indikasi.
Rasional : Pengobatan yang teratur akan dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
3)        Berikan anak latihan dan kesempatam meningkatkan hubungan sosial.
Rasional : Latihan dan hubungan sosial dengan orang lain dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan.
4)        Berikan nutrisi yang cukup/memenuhi kebutuhan tubuh.
Rasional : Nutrisi akan dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan.


DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : EGC

Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta : salemba Medika

Meadow, Sir Roy. 2005. Lecture Notes Pediatrika Ed. 7. Jakarta : Erlangga

Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta : EGC

0 komentar

Posting Komentar