Minggu, 12 Agustus 2018

Laporan Pendahuluan Apendisitis pada Anak pdf, doc

Laporan Pendahuluan Apendisitis pada Anak pdf, doc


LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDIKSITIS
                                   


A.      Anatomi dan Fisiologi
a)      Anatomi  Appendiksitis
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%.
b)     Fisiologi Appendiks
Appendiks berfungsi untuk menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karea  jumlah jaringan lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah jaringan  di saluran cerna dan seluruh tubuh.

B.       Konsep Dasar Penyakit Appendiksitis
1.        Definisi
 Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan. (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Kesimpulannya: Apendisitis adalah infeksi atau peradangan pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama dari Apendisitis. Appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi.

2.        Epidemiologi
Apendisitis atau radang apendiks merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai pada anak. Di Amerika 60.000-80.000 kasus apendisitis didiagnosa per tahun, rata rata usia anak yang mengalami apendisitis adalah 10 tahun. Di Amerika Serikat angka kematian akibat apendisitis 0.2-0.8% (Santacroce & Craig, 2006). Di Indonesia Apendisitis menjadi penyakit terbanyak diderita dengan urutan keempat tahun 2006 setelah dyspepsia, gastritis dan duodenitis (DepKes RI, 2006). Kelompok usia yang umumnya mengalami apendisitis yaitu pada usia 10 – 30 tahun. Satu dari 15 orang pernah mengalami apendisitis dalam hidupnya (Sisk, 2004).
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian apendisitis dinegara maju lebih tinggi dari pada negara berkembang, Amerika menangani 11 kasus/10.000 kasus apendisitis setiap tahun. Menurut data RSPAD Gatot Subroto, jumlah pasien yang menderita apendisitis di Indonesia adalah sekitar 32% dari jumlah populasi penduduk Indonesia (Sulistyawati, Hasneli, Novayelinda, 2012).
Apendisitis lebih sering terjadi di negara-negara maju, pada masyarakat barat. (Sulu, Gunerhan, Ozturk & Arslan, 2010). Sebuah hasil penelitian menunjukkan masyarakat urban Afrika Selatan yang mengkonsumsi makanan rendah serat daripada orang Caucasian, insiden apendisitis terjadi lebih rendah pada orang Caucasian (Carr, 2000). Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah serat (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

3.        Etiologi
Etiologi apendisitis yang terjadi antara lain disebabkan oleh obstruksi lumen appendiks. Obstruksi lumen pada appendiks yang menyebabkan apendisitis antara lain karena; material feses yang keras (fecalith), hyperplasia jaringan limfoid, dan infeksi virus (Hockenberry & Wilson, 2007). Penyebab lainnya dari apendisitis antara lain; benda asing, infeksi bakteri, parasit, dan tumor appendiks atau sekum (Lynn, Cynthia, & Jeffery, 2002).
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).

4.        Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. (Mansjoer, 2007) .


5.        Klasifikasi
a)         Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa :
1)        Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2)        Fekalit
3)        Benda asing
4)        Tumor
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
b)      Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c)      Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria  mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d)     Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
e)      Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f)       Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan  hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g)      Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.

6.        Tanda dan Gejala
a.       Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b.      Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c.       Nyeri tekan lepas dijumpai.
d.      Terdapat konstipasi atau diare.
e.       Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f.       Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g.      Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h.      Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i.        Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j.        Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
k.      Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks. 

7.        Pemeriksaan fisik
a.       Pemeriksaan fisik
a)      Keadaan umum
(1)   Kesadaran : umumnya tidak mengelami penurunan kesadaran
Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah
b. Suhu
c. Pernafasan
d. Denyut nadi
Pre operasi

Post operasi
b.      Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.
c.       Sistem gastrointestinal: Distensi abdomen dan adanya penurunan bising usus dapat terjadi pada pasien post appendiktomi karena pasien dalam efek anastesi sehingga aliran vena dan gerakan peristaltik usus menjadi menurun.
d.      Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena post operasi
e.       Sistem Persyarafan: Terdapat nyeri pada luka insisi pembedahan.
f.       Sistem Integumen : adanya luka bekas operasi pada kulit bagian abdomen kanan bawah.
g.      Abdomen :
·         Inspeksi  : Akan tampak adanya luka bekas operasi pada abdomen kanan bawah.
·         Auskultrasi: Umumnya terjadi penurunan paristaltik usus akibat dari pengaruh sisa obat anastesi
·           Perkusi: Perkusi pada seluruh kuadran kecuali pada kuadran ke-4 normal (timpani)
·         Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa    nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) dan Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign), bila tekanan dilepaskan juga akan terasa nyeri.

8.        Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1.      Laboratorium.
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2.      Pemeriksaan darah
Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
3.      Pemeriksaan urine. Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
4.      Radiologi.
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
5.      Pemeriksaan USG.
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
6.      Pemeriksaan Barium enema. Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
7.      Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
8.      Laparoscopi.
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.

9.        Penatalaksanaan
1)      Penatalaksanaan medis.
a.    Sebelum operasi
v  Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendisitis sering kali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya appendisitis atau bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah ( leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis dilakukan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
v  Intubasi bila perlu
v  Berikan Antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindomisin)

b.      Operasi appendiktomi
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi dapat dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
c.    Pasca operasi Perlu dilakukan:
Ø  Observasi TTV dan tanda – tanda syok.
Ø   Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
Ø  Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan dan selama itu pasien dipuasakan.
Ø  Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Ø  Satu hari post operasi pasien dianjurkan miring kiri / kanan dan secara bertahap duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit.
Ø  Pada hari kedua pasien dapat diberdirikan dan duduk di luar kamar.
Ø  Pada hari ke tiga rawat luka dengan teknik aseptic
Ø  Hari berikutnya diberikan makanan lunak dan anjurkan berdiri tegak dan berjalan  di luar kamar
Ø  Hingga hari ketujuh luka jahitan diangkat, dan jika tidak ada keluhan  delegasikan kepada dokter agar pasien dapat dipulangkan.  
2)      Penatalaksanaan keperawatan
Adapun tindakan non medis yang diberikan adalah persiapan pasien untuk apendiktomi diantaranya: perawat memastikan  kepada dokter bahwa pasien melakukan tes darah,cek urin, rontgen, dan puasa sudah dilaksanakan. Kemudian tindakan keperawatan yang dapat diberikan post-op adalah perawatan luka jahitan dan mobilisasi pasien secara teratur untuk mencegah dekubitus.



10.    Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangankomplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua.
Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1.    Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2.    Perforasi    
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.


3.    Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

11.    Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada orangtua. Kematian  atau aspirasi; prognosis emboli paru biasanya berasal dari sepsis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik. Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong.
Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis  2000) dan hernia. (Schwartz)
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada. (De Jong 2005).

C.      Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1.    Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
Pengumpulan data
       Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998)
a.       Identitas
1)        Identitas klien
      Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis, dan status pernikahan.
2)        Identitas penanggung jawab klien
      Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, status pernikahan, dan hub. Dengan klen.

b.      Riwayat kesehatan

1)      Alasan  utama masuk rumah sakit
Pasien mengeluh mual, nyeri hilang timbul pada abdomen bagian kanan bawah, dan pasien merasa lemas.
2)      Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah
3)        Riwayat kesehatan sekarang
Pre operasi: pasien mengeluh  nyeri pada abdomen bagian kanan bawah
Post operasi: Pasien mengeuh nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, lemas dan badan terasa panas.
4)        Riwayat kesehatan dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga menjadi appendisitis akut.

5)        Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita oleh keluarga pasien. 
6)         Riwayat alergi
Riwayat alergi merupakan apakah pasien ada alergi terhadap makanan dan obat tertentu atau tidak.
c.       Genogram
Adanya genogram untuk mengetahui garis keturunan dari pasien, agar mengetahui informasi bilamana ada penyakit keturunan pada keluarga pasien.
d.      Pola-pola fungsi kesehatan menurut Gordon
1.      Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pre operasi dan Post operasi
Mengkaji apakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan  olah raga (lama frekwensinya),dan bagaimana cara pasien selama ini memelihara kesehatannya.
2.      Nutrisi dan metabolic
Pre operasi
Biasanya pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya nyeri di daerah abdomen bagian kanan bawah.  Umumnya pola minum pasien tidak mengalami gangguan.
Post operasi
Biasanya pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya nyeri di daerah abdomen yang disertai pengaruh anastesi. Umumnya pola minum pasien tidak mengalami gangguan.
3.      Aktivitas dan latihan
Pre operasi
Umumnya pasien masih bisa melakukan aktivitas namun masih dibantu orang lain, hal ini disebabkan karena adanya nyeri pada daerah abdomen bagian kanan bawah. 
Post operasi
Umumnya pada pasien operasi apendiktomy pola aktivitas mengalami gangguan karena disebabkan nyeri pada daerah bekas insisi. aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
4.      Tidur istirahat
Pre operasi
Pada umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan nyeri pada abdomen bagian kanan bawah.
Post operasi
Pada umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan nyeri pada luka insisi.
5.      Eliminasi
Pre operasi
Pada pola eliminasi urine akan terjadi penurunan akibat rasa nyeri pada abdomen. Pola eliminasi alvi umumnya akan mengalami gangguan akibat terjadinya konstipasi, sehingga terjadi penurunan fungsi.
Post operasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung kemih akibat efek dari obat anastesi, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur  akan mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena efek obat anastesi  dapat menurunkan peristaltik lambung
6.      Pola persepsi kesehatan (konsep diri)
Pre operasi
Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
Post operasi
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
7.      Peran dan hubungan social
Pre operasi
Pada umumnya pasien mengalami gangguan pada peran serta hubungan social akibat nyeri pada abdomen yang disebabkan  karena penyakit appendiksitis
Post operasi
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam keluarganya.
8.      Seksual dan reproduksi
Pre operasi dan Post operasi
Pada umumnya pola seksual dan reproduksi akan mengalami gangguan akibat nyeri pembedahan appendiktomi
9.      Manajemen koping
Pre operasi
Jika klien setres mengalihkan pada hal lain.
Post operasi
Klien kalau stress murung sendiri, seperti mencoba menutup diri
10.  Kognitif perceptual
Pre operasi dan Post operasi
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
11.  Nilai dan kepercayaan
Pre operasi
Umumnya pasien masih bisa melakukan aktivitas spiritual dengan dibantu oleh orang lain  
Post operasi
Umumnya pada pasien apendiktomy keadaan spiritualnya mengalami gangguan karena terjadinya nyeri akibat dari  proses pembedahan abdomen

e.       Pemeriksaan fisik
a)      Keadaan umum
(1)   Kesadaran : umumnya tidak mengelami penurunan kesadaran
Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah
b. Suhu
c. Pernafasan
d. Denyut nadi
Pre operasi
a)      Abdomen :
·         Inspeksi: Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
·         Auskultrasi: Pada umumnya adanya penurunan peristaltik akibat konstipasi
·         Perkusi : Pada umumnya terdapat
·         Palpasi: Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.
Post operasi
b)      Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.
c)      Sistem gastrointestinal: Distensi abdomen dan adanya penurunan bising usus dapat terjadi pada pasien post appendiktomi karena pasien dalam efek anastesi sehingga aliran vena dan gerakan peristaltik usus menjadi menurun.
d)     Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena post operasi
e)      Sistem Persyarafan: Terdapat nyeri pada luka insisi pembedahan.
f)       Sistem Integumen : adanya luka bekas operasi pada kulit bagian abdomen kanan bawah.
g)      Abdomen :
·         Inspeksi  : Akan tampak adanya luka bekas operasi pada abdomen kanan bawah.
·         Auskultrasi: Umumnya terjadi penurunan paristaltik usus akibat dari pengaruh sisa obat anastesi
·           Perkusi: Perkusi pada seluruh kuadran kecuali pada kuadran ke-4 suara normal (timpani)
·         Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa    nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) dan Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign), bila tekanan dilepaskan juga akan terasa nyeri.

2.      Pathway

Laporan Pendahuluan Apendisitis pada Anak pdf, doc, appendiksitis, askep apendisitis anak, askep apendisitis dewasa, woc apendisititis anak, woc apendisitis dewasa, woc apendisitis pdf

3.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Pre
1)      Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal.
2)      Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
3)      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
4)      Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
Diagnosa Post
1)      Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi
2)      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pembedahan
3)      Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka post operasi.

4.      Intervensi
Diagnosa Pre
1.      Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan pasien dapat melakukan manajemen nyeri dengan kriteria hasil :
·         Pasien tampak lebih tenang.
·         Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
·         Pasien tidak meringis kesakitan lagi.
Intervensi :
1)      Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
2)      Beri lingkungan yang nyaman.
R/ :  Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3)      Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
4)      Pantau perkembangan nyeri pasien.
R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang dialami pasien sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
2.      Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5­­o C / aksila).
Intervensi :
1)      Observasi TTV.
R/ : Untuk membandingkan TTV sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.
2)      Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keadaan pasien.
3)      Lakukan kompres air hangat.
R/ : Untuk mengembalikan fungsi termostat dalam keadaan normal.
4)      Ukur TTV.
R/ : Untuk mengetahui perubahan suhu tubuh pasien.
3.      Dx 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil:
·         Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit normal, mukosa bibir tidak kering)
·         Pasien tidak merasa haus.
·         Pasien tampak segar.
Intervensi :
1)      Kaji tanda-tanda dehidrasi pasien.
R/ : Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat mengetahui tindakan yang harus dilakukan.
2)      Awasi cairan masuk dan cairan keluar.
R/ : Untuk menjaga keseimbangan volume cairan tubuh.
3)      Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan melalui intravena.
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi cairan per oral karena pasien yang akan dilakukan tindakan apendiktomi harus dipuasakan.
4.      Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan cemas pasien berkurang, dengan kriteria hasil :
·         Pasien tampak tenang.
·         Pasien kooperatif dengan tindakan keperawatan dan tindakan medis yang akan dilakukan.
Intervensi :
1)      Kaji keadaan emosi pasien.
R/ : Dengan mengetahui keadaan pasien saat itu, jadi kita dapat menentukan tindakan dan waktu yang tepat untuk melakukan tindakan keperawatan.
2)      Lakukan BHSP apabila keadaan emosi pasien saat itu memungkinkan.
R/ : Sebelum melakukan tindakan keperawatan, kita harus melaksanakan pendekatan agar tindakan keperawatan yang dilakukan lebih mudah.
3)      Eksplorasi perasaan pasien.
R/ : Untuk menggali lebih jauh apa yang dirasakan pasien.
4)      Biarkan pasien mengungkap perasaannya.
R/ : Agar emosi pasien dapat tersalurkan sehingga pasien merasa lebih tenang.
5)      Berikan feed back positif dan berikan support kepada pasien.
R/ : Agar pasien merasa nyaman dan merasa ada yang mendukungnya.
Diagnosa Post
1.      Dx 1 : Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri yang dialami pasien berkurang dengan kriteria hasil :
·         Pasien tidak meringis.
·         Pasien tampak tenang.
·         Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
Intervensi :
1)      Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
2)      Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3)      Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
4)      Berikan analgetik
R/ : Untuk mengurangi nyeri pasien.
2.      Dx 2 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pembedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi
Intervensi :
1.      Kaji tanda-tanda infeksi pada pasien.
R/ : Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, dan perubahan fungsi), pus, jaringan nekrotik.
2.      Lakukan perawatan luka.
R/ : Ganti balutan agar luka post-op tetap kering.
3.      Jaga luka agar tetap steril.
R/ : Untuk menghindari perkembangan bakteri pada luka.
4.      Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan luka, menjaga luka agar tetap kering.
R/ : Luka yang lembab menyebabkan infeksi karena bakteri dapat berkembang.
5.      Berikan salep betadine di atas luka pasien.
R/ : Untuk mencegah infeksi pada luka.
3.      Dx 3 : Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka post operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
Intervensi :
1)      Kaji tingkat pengetahuan orang tua pasien.
R/ menentukan cara penyampaian informasi kepada keluarga pasien.
2)      Lakukan BHSP.
R/ mempermudah perawat dalam melakukan tindakan keperawatan.
3)      Berikan penjelasan mengenai perawatan luka kepada orang tua pasien.
R/ memberikan penjelasan kepada orang tua pasien.
4)      Berikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
R/ memberikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkap kesulitan yang dihadapi.
5)      Evaluasi tingkat pengetahuan pasien.
R/ untuk mengetahui keberhasilan intervensi.

           5.      Evaluasi
Diagnosa pre-tindakan
1)      Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2)      Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5­­o C / aksila).
3)      Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4)      Cemas pasien berkurang
Diagnosa post-tindakan
1)      Nyeri yang dialami pasien berkurang
2)      Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
3)      Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Barbara Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta.
Carpenito, Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.
Doenges, Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000, Jakarta.
Elizabeth, J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal Bedah (Pendekatan Gastrointestinal), EGC, Ja Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Nuzulul
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC
karta.

0 komentar

Posting Komentar