Laporan Pendahuluan Apendisitis pada Anak pdf, doc
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDIKSITIS
A.
Anatomi
dan Fisiologi
a)
Anatomi Appendiksitis
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan
panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali
tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans
sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial
menuju katup ileocaecal.
Pada
bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia
tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada
bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu
dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala
klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal
(di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di
bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%.
b)
Fisiologi
Appendiks
Appendiks berfungsi untuk menghasilkan lendir 1-2 ml per
hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan
pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karea jumlah jaringan lebih
sedikit jika dibandingkan dengan jumlah jaringan di saluran cerna dan seluruh tubuh.
B.
Konsep
Dasar Penyakit Appendiksitis
1.
Definisi
Apendisitis adalah infeksi pada
appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi
jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama
Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit
seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis adalah
peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan. (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena
struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk
berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan
inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah
obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh
darahya (Corwin, 2009).
Kesimpulannya: Apendisitis adalah infeksi atau
peradangan pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces),
hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama dari Apendisitis. Appendiks
merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi.
2.
Epidemiologi
Apendisitis atau radang apendiks merupakan kasus
infeksi intraabdominal yang sering dijumpai pada anak. Di Amerika 60.000-80.000
kasus apendisitis didiagnosa per tahun, rata rata usia anak yang mengalami
apendisitis adalah 10 tahun. Di Amerika Serikat angka kematian akibat
apendisitis 0.2-0.8% (Santacroce & Craig, 2006). Di Indonesia Apendisitis
menjadi penyakit terbanyak diderita dengan urutan keempat tahun 2006 setelah
dyspepsia, gastritis dan duodenitis (DepKes RI, 2006). Kelompok usia yang
umumnya mengalami apendisitis yaitu pada usia 10 – 30 tahun. Satu dari 15 orang
pernah mengalami apendisitis dalam hidupnya (Sisk, 2004).
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian
apendisitis dinegara maju lebih tinggi dari pada negara berkembang, Amerika
menangani 11 kasus/10.000 kasus apendisitis setiap tahun. Menurut data RSPAD
Gatot Subroto, jumlah pasien yang menderita apendisitis di Indonesia adalah
sekitar 32% dari jumlah populasi penduduk Indonesia (Sulistyawati, Hasneli,
Novayelinda, 2012).
Apendisitis lebih sering terjadi di negara-negara
maju, pada masyarakat barat. (Sulu, Gunerhan, Ozturk & Arslan, 2010).
Sebuah hasil penelitian menunjukkan masyarakat urban Afrika Selatan yang
mengkonsumsi makanan rendah serat daripada orang Caucasian, insiden apendisitis
terjadi lebih rendah pada orang Caucasian (Carr, 2000). Urbanisasi mempengaruhi
transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan dalam masyarakat seiring
dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi lemak dan rendah serat
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
3.
Etiologi
Etiologi apendisitis yang terjadi antara lain
disebabkan oleh obstruksi lumen appendiks. Obstruksi lumen pada appendiks yang
menyebabkan apendisitis antara lain karena; material feses yang keras
(fecalith), hyperplasia jaringan limfoid, dan infeksi virus (Hockenberry &
Wilson, 2007). Penyebab lainnya dari apendisitis antara lain; benda
asing, infeksi bakteri, parasit, dan tumor appendiks atau sekum (Lynn, Cynthia,
& Jeffery, 2002).
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat,
2005).
4.
Patofisiologi
Apendisitis
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi
mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. (Mansjoer,
2007) .
5.
Klasifikasi
a)
Apendisitis akut
Apendisitis
akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya
adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari
apendiks.
Penyebab
obstruksi dapat berupa :
1)
Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding
apendiks.
2)
Fekalit
3)
Benda asing
4)
Tumor
Adanya
obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer
sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang
tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi
peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.Selain
obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
b) Apendisitis
Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam
lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena
pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c) Apendisitis
kronik
Diagnosis
apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria
mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik
antara 1-5 persen.
d) Apendissitis
rekurens
Diagnosis
rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama
kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya
karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn
lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik.Pada apendiktitis rekurensi
biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan
akut.
e) Mukokel
Apendiks
Mukokel
apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika
isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel
dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita
sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah.
Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f) Tumor Apendiks/Adenokarsinoma
apendiks
Penyakit ini
jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi
apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional,
dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh
lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g) Karsinoid
Apendiks
Ini merupakan
tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks
dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan
kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare
ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor
memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun
diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan
adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik
apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi
ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.
6.
Tanda
dan Gejala
a. Nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan
local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan
lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi
atau diare.
e. Nyeri lumbal,
bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi,
bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung
appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h. Pemeriksaan
rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i.
Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi
kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j.
Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri
menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien
lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak
mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
7.
Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
(1) Kesadaran : umumnya tidak mengelami penurunan kesadaran
Tanda-tanda
vital
a. Tekanan
darah
b. Suhu
c. Pernafasan
d. Denyut nadi
Pre operasi
Post operasi
b. Sistem hematologi : terjadi
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.
c. Sistem
gastrointestinal: Distensi abdomen dan adanya penurunan bising usus dapat
terjadi pada pasien post appendiktomi karena pasien dalam efek anastesi
sehingga aliran vena dan gerakan peristaltik usus menjadi menurun.
d. Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan
dalam pergerakkan karena post operasi
e. Sistem
Persyarafan: Terdapat nyeri pada luka insisi pembedahan.
f. Sistem Integumen : adanya luka bekas
operasi pada kulit bagian abdomen kanan bawah.
g. Abdomen :
·
Inspeksi : Akan tampak adanya luka
bekas operasi pada abdomen kanan bawah.
·
Auskultrasi: Umumnya terjadi penurunan
paristaltik usus akibat dari pengaruh sisa obat anastesi
·
Perkusi: Perkusi pada seluruh kuadran kecuali pada
kuadran ke-4 normal (timpani)
·
Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) dan Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat
tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign), bila
tekanan dilepaskan juga akan terasa nyeri.
8.
Pemeriksaan
Diagnostik/Penunjang
1. Laboratorium.
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2. Pemeriksaan
darah
Akan
didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada
kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
3. Pemeriksaan
urine. Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan appendisitis.
4. Radiologi.
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
5. Pemeriksaan
USG.
Bila
hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
6. Pemeriksaan
Barium enema. Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis
pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak
menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam
membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
8. Laparoscopi.
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
9.
Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan
medis.
a. Sebelum
operasi
v Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya
keluhan, tanda dan gejala appendisitis sering kali masih belum jelas. Dalam
keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah
baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya
appendisitis atau bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal
serta pemeriksaan darah ( leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik.
Foto abdomen tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.
Pada kebanyakan kasus, diagnosis dilakukan dengan lokalisasi nyeri di daerah
kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
v Intubasi
bila perlu
v Berikan
Antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindomisin)
b. Operasi
appendiktomi
Pembedahan
diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan
IV diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi dapat dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah
anestesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi
yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
c. Pasca
operasi Perlu dilakukan:
Ø Observasi TTV dan tanda – tanda
syok.
Ø Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
Ø Pasien dikatakan baik bila dalam 12
jam tidak terjadi gangguan dan selama itu pasien dipuasakan.
Ø Berikan minum mulai 15 ml/jam selama
4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam keesokan harinya diberikan makanan
saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Ø Satu hari post operasi pasien
dianjurkan miring kiri / kanan dan secara bertahap duduk tegak ditempat tidur
selama 2 x 30 menit.
Ø Pada hari kedua pasien dapat
diberdirikan dan duduk di luar kamar.
Ø Pada hari ke tiga rawat luka dengan
teknik aseptic
Ø Hari
berikutnya diberikan makanan lunak dan anjurkan berdiri tegak dan berjalan di luar kamar
Ø Hingga
hari ketujuh luka jahitan diangkat, dan jika tidak ada keluhan delegasikan kepada dokter agar pasien dapat
dipulangkan.
2) Penatalaksanaan
keperawatan
Adapun
tindakan non medis yang diberikan adalah persiapan pasien untuk apendiktomi
diantaranya: perawat memastikan kepada dokter bahwa pasien melakukan tes
darah,cek urin, rontgen, dan puasa sudah dilaksanakan. Kemudian tindakan
keperawatan yang dapat diberikan post-op adalah perawatan luka jahitan dan
mobilisasi pasien secara teratur untuk mencegah dekubitus.
10.
Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan
penanganan Apendisitis. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga
medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis
meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah
sakit, dan terlambat melakukan penanggulangankomplikasi Apendisitis 10-32%,
paling sering pada anak kecil dan orang tua.
Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di
bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi
pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya
perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun
jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks
yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis.
Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi
ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks
yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang
terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah
24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran
klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C,
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear
(PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi
dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan
peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
11.
Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika
appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada orangtua. Kematian atau aspirasi; prognosis emboli paru biasanya
berasal dari sepsis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic
yang lebih baik. Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi
dini adalah sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit
yang merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat
terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula
fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi
dari jahitan kantong.
Obstruksi usus dapat terjadi dengan
abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan
adhesi dengan obstruksi mekanis 2000) dan
hernia. (Schwartz)
Dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil.
Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila
terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.
Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada. (De
Jong 2005).
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan
landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi
arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan,
yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis
keperawatan. (Lismidar, 1990)
Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien
yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif,
tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien.
(Marilynn E. Doenges et al, 1998)
a. Identitas
1)
Identitas
klien
Meliputi
nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis, dan status pernikahan.
2)
Identitas
penanggung jawab klien
Meliputi
nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, status pernikahan, dan hub. Dengan klen.
b. Riwayat kesehatan
1) Alasan utama masuk rumah sakit
Pasien
mengeluh mual, nyeri hilang timbul pada abdomen bagian kanan bawah, dan pasien
merasa lemas.
2) Keluhan
utama
Nyeri
pada daerah abdomen kanan bawah
3)
Riwayat
kesehatan sekarang
Pre operasi: pasien mengeluh nyeri pada abdomen bagian kanan bawah
Post operasi: Pasien mengeuh nyeri
pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, lemas dan badan terasa panas.
4)
Riwayat
kesehatan dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat
yang dapat menimbulkan konstipasi sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang
menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan
kuman folar kolon sehingga menjadi appendisitis akut.
5)
Riwayat
kesehatan keluarga
Riwayat penyakit yang mungkin pernah
diderita oleh keluarga pasien.
6)
Riwayat alergi
Riwayat
alergi merupakan apakah pasien ada alergi terhadap makanan dan obat tertentu
atau tidak.
c. Genogram
Adanya
genogram untuk mengetahui garis keturunan dari pasien, agar mengetahui
informasi bilamana ada penyakit keturunan pada keluarga pasien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan menurut
Gordon
1. Persepsi dan
pemeliharaan kesehatan
Pre operasi dan Post operasi
Mengkaji apakah ada kebiasaan
merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olah raga (lama
frekwensinya),dan bagaimana cara pasien selama ini memelihara kesehatannya.
2.
Nutrisi dan
metabolic
Pre operasi
Biasanya
pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya nyeri di daerah
abdomen bagian kanan bawah. Umumnya pola
minum pasien tidak mengalami gangguan.
Post
operasi
Biasanya
pasien tidak ada nafsu makan karena dipengaruhi oleh adanya nyeri di daerah
abdomen yang disertai pengaruh anastesi. Umumnya pola minum pasien tidak
mengalami gangguan.
3.
Aktivitas dan
latihan
Pre operasi
Umumnya
pasien masih bisa melakukan aktivitas namun masih dibantu orang lain, hal ini disebabkan
karena adanya nyeri pada daerah abdomen bagian kanan bawah.
Post
operasi
Umumnya
pada pasien operasi apendiktomy pola aktivitas mengalami gangguan karena
disebabkan nyeri pada daerah bekas insisi. aktifitas biasanya
terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah pembedahan.
4.
Tidur istirahat
Pre operasi
Pada
umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan nyeri pada abdomen
bagian kanan bawah.
Post
operasi
Pada
umumnya pola istirahat pasien mengalami gangguan disebabkan nyeri pada luka
insisi.
5.
Eliminasi
Pre operasi
Pada pola eliminasi urine akan
terjadi penurunan akibat rasa nyeri pada abdomen. Pola eliminasi alvi umumnya akan
mengalami gangguan akibat terjadinya konstipasi, sehingga terjadi penurunan
fungsi.
Post operasi
Pada pola eliminasi urine akibat
penurunan daya konstraksi kandung kemih akibat efek dari obat anastesi, rasa
nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola
eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya
sementara karena efek obat anastesi
dapat menurunkan peristaltik lambung
6.
Pola persepsi
kesehatan (konsep diri)
Pre operasi
Klien mengalami kecemasan tentang
keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
Post
operasi
Penderita menjadi ketergantungan
dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan harus dibantu. sehingga
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
7.
Peran dan hubungan
social
Pre operasi
Pada
umumnya pasien mengalami gangguan pada peran serta hubungan social akibat nyeri
pada abdomen yang disebabkan karena
penyakit appendiksitis
Post
operasi
Dengan keterbatasan gerak
kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik dalam keluarganya.
8.
Seksual dan
reproduksi
Pre operasi
dan Post operasi
Pada
umumnya pola seksual dan reproduksi akan mengalami gangguan akibat nyeri
pembedahan appendiktomi
9.
Manajemen koping
Pre operasi
Jika
klien setres mengalihkan pada hal lain.
Post
operasi
Klien
kalau stress murung sendiri, seperti mencoba menutup diri
10. Kognitif perceptual
Pre operasi
dan Post operasi
Ada tidaknya gangguan sensorik
nyeri, penglihatan serta pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu,
orientasi terhadap orang tua, waktu dan tempat.
11. Nilai dan kepercayaan
Pre operasi
Umumnya pasien
masih bisa melakukan aktivitas spiritual dengan dibantu oleh orang lain
Post
operasi
Umumnya
pada pasien apendiktomy keadaan spiritualnya mengalami gangguan karena
terjadinya nyeri akibat dari proses
pembedahan abdomen
e. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
(1) Kesadaran : umumnya tidak mengelami penurunan kesadaran
Tanda-tanda
vital
a. Tekanan
darah
b. Suhu
c. Pernafasan
d. Denyut nadi
Pre operasi
a)
Abdomen
:
·
Inspeksi: Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
·
Auskultrasi:
Pada umumnya adanya penurunan peristaltik akibat konstipasi
·
Perkusi
: Pada umumnya terdapat
·
Palpasi: Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di
perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini
disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.
Post operasi
b) Sistem hematologi : terjadi
peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan.
c) Sistem
gastrointestinal: Distensi abdomen dan adanya penurunan bising usus dapat
terjadi pada pasien post appendiktomi karena pasien dalam efek anastesi
sehingga aliran vena dan gerakan peristaltik usus menjadi menurun.
d) Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan
dalam pergerakkan karena post operasi
e) Sistem
Persyarafan: Terdapat nyeri pada luka insisi pembedahan.
f) Sistem Integumen : adanya luka bekas
operasi pada kulit bagian abdomen kanan bawah.
g) Abdomen :
·
Inspeksi : Akan tampak adanya luka
bekas operasi pada abdomen kanan bawah.
·
Auskultrasi: Umumnya terjadi penurunan
paristaltik usus akibat dari pengaruh sisa obat anastesi
·
Perkusi: Perkusi pada seluruh kuadran kecuali pada
kuadran ke-4 suara normal (timpani)
·
Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) dan Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat
tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign), bila
tekanan dilepaskan juga akan terasa nyeri.
2.
Pathway
3.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Pre
1) Nyeri akut
berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi
gastrointestinal.
2) Hipertermia
berhubungan dengan penyakit atau trauma.
3) Resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
4) Ansietas
berhubungan dengan krisis situasional.
Diagnosa Post
1) Nyeri akut
berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi
2) Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pembedahan
3) Defisit
pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi mengenai perawatan luka post operasi.
4.
Intervensi
Diagnosa Pre
1.
Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan
inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan pasien dapat
melakukan manajemen nyeri dengan kriteria hasil :
·
Pasien tampak lebih tenang.
·
Pasien dapat melakukan aktivitas
ringan, seperti bermain dengan orang tua.
·
Pasien tidak meringis kesakitan lagi.
Intervensi :
1)
Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri
pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
2) Beri lingkungan
yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh
terhadap keadaan nyeri pasien.
3) Lakukan tehnik
distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian
pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien
dapat memanajemen nyeri.
4) Pantau
perkembangan nyeri pasien.
R/ : Untuk segera mengambil tindakan
rujukan apabila nyeri yang dialami pasien sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
2.
Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan
penyakit atau trauma.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan suhu tubuh
pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o
C / aksila).
Intervensi :
1) Observasi TTV.
R/ : Untuk membandingkan TTV sebelum
dan sesudah intervensi dilakukan.
2) Beri lingkungan
yang nyaman.
R/ : Keadaan lingkungan berpengaruh
terhadap keadaan pasien.
3) Lakukan kompres
air hangat.
R/ : Untuk mengembalikan fungsi
termostat dalam keadaan normal.
4) Ukur TTV.
R/ : Untuk mengetahui perubahan suhu
tubuh pasien.
3.
Dx 3 : Risiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan
pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil:
·
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda
dehidrasi (turgor kulit normal, mukosa bibir tidak kering)
·
Pasien tidak merasa haus.
·
Pasien tampak segar.
Intervensi :
1) Kaji
tanda-tanda dehidrasi pasien.
R/ : Untuk melihat apakah pasien
mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat mengetahui tindakan yang harus
dilakukan.
2) Awasi cairan
masuk dan cairan keluar.
R/ : Untuk menjaga keseimbangan volume
cairan tubuh.
3) Apabila pasien
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan melalui intravena.
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan
pasien, jangan memberi cairan per oral karena pasien yang akan dilakukan tindakan
apendiktomi harus dipuasakan.
4.
Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan
krisis situasional
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan cemas pasien
berkurang, dengan kriteria hasil :
·
Pasien tampak tenang.
·
Pasien kooperatif dengan tindakan
keperawatan dan tindakan medis yang akan dilakukan.
Intervensi :
1) Kaji keadaan
emosi pasien.
R/ : Dengan mengetahui keadaan pasien
saat itu, jadi kita dapat menentukan tindakan dan waktu yang tepat untuk
melakukan tindakan keperawatan.
2) Lakukan BHSP
apabila keadaan emosi pasien saat itu memungkinkan.
R/ : Sebelum melakukan tindakan
keperawatan, kita harus melaksanakan pendekatan agar tindakan keperawatan yang
dilakukan lebih mudah.
3) Eksplorasi
perasaan pasien.
R/ : Untuk menggali lebih jauh apa yang
dirasakan pasien.
4) Biarkan pasien
mengungkap perasaannya.
R/ : Agar emosi pasien dapat
tersalurkan sehingga pasien merasa lebih tenang.
5) Berikan feed
back positif dan berikan support kepada pasien.
R/ : Agar pasien merasa nyaman dan
merasa ada yang mendukungnya.
Diagnosa Post
1.
Dx 1 : Nyeri akut berhubungan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri yang
dialami pasien berkurang dengan kriteria hasil :
·
Pasien tidak meringis.
·
Pasien tampak tenang.
·
Pasien dapat melakukan aktivitas
ringan, seperti bermain dengan orang tua.
Intervensi :
1) Observasi skala
nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri
pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.
2) Beri lingkungan
yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap
keadaan nyeri pasien.
3) Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian
pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien
dapat memanajemen nyeri.
4) Berikan analgetik
R/ : Untuk mengurangi nyeri pasien.
2.
Dx 2 : Resiko tinggi infeksi
berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pembedahan
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan luka pasien tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi
Intervensi :
1. Kaji
tanda-tanda infeksi pada pasien.
R/ : Untuk melihat apakah ada
tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, dan perubahan fungsi), pus,
jaringan nekrotik.
2. Lakukan
perawatan luka.
R/ : Ganti balutan agar luka post-op
tetap kering.
3. Jaga luka agar
tetap steril.
R/ : Untuk menghindari perkembangan
bakteri pada luka.
4. Informasikan
kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan luka, menjaga luka agar
tetap kering.
R/ : Luka yang lembab menyebabkan
infeksi karena bakteri dapat berkembang.
5. Berikan salep
betadine di atas luka pasien.
R/ : Untuk mencegah infeksi pada luka.
3.
Dx 3 : Defisit pengetahuan (perawatan
luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai
perawatan luka post operasi
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan tingkat
pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
Intervensi :
1) Kaji tingkat
pengetahuan orang tua pasien.
R/ menentukan cara penyampaian
informasi kepada keluarga pasien.
2) Lakukan BHSP.
R/ mempermudah perawat dalam melakukan
tindakan keperawatan.
3) Berikan
penjelasan mengenai perawatan luka kepada orang tua pasien.
R/ memberikan penjelasan kepada orang
tua pasien.
4) Berikan
kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
R/ memberikan kesempatan kepada orang
tua pasien untuk mengungkap kesulitan yang dihadapi.
5) Evaluasi
tingkat pengetahuan pasien.
R/ untuk mengetahui keberhasilan
intervensi.
5. Evaluasi
Diagnosa pre-tindakan
1)
Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2)
Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi
rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).
3)
Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4) Cemas pasien
berkurang
Diagnosa post-tindakan
1)
Nyeri yang dialami pasien berkurang
2)
Luka pasien tidak menunjukkan
tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
3) Tingkat
pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara
Engram, Askep Medikal Bedah, Volume 2, EGC, Jakarta.
Carpenito,
Linda Jual, Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, 2000, Jakarta.
Doenges,
Marlynn, E, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III, EGC, 2000, Jakarta.
Elizabeth,
J, Corwin, Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Ester, Monica, SKp, Keperawatan Medikal
Bedah (Pendekatan Gastrointestinal), EGC, Ja Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC,
Jakarta.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing
Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project,
Mosby.
Mansjoer,
A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2012, Diagnosis
Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Nuzulul
Smeltzer,
Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart.
Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC
karta.
0 komentar
Posting Komentar