Makalah Asuhan Keperawatan (Askep) Apendisitis Pre Operasi dan Post Operasi pdf, doc
APPENDISITIS
A.
DEFINISI
Appendiks adalah ujung seperti jari yang
kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah
katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur
ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil,
appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan
Sudarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks
vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk,
2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks
karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan
limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis.
Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba
histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks
vermiformis, karena struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal
bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks
yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh
feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
B.
ETIOLOGI
Apendisitis
belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi
yaitu:
1.
Factor
yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
a.
Hiperplasia
dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b.
Adanya
faekolit dalam lumen appendiks
c.
Adanya
benda asing seperti biji-bijian
d.
Striktura
lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2.
Infeksi
kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3.
Laki-laki
lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa).
Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4.
Tergantung
pada bentuk apendiks:
a.
Appendik
yang terlalu panjang
b.
Massa
appendiks yang pendek
c.
Penonjolan
jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d.
Kelainan
katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)
C.
ANATOMI DAN FISIOLOGI
1.
Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk
tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks
pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian
ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan
dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial
menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar
pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya
insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di
bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga
tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi
posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks.
Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic
(panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus
halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%.
2.
Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per
hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan
pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah
di saluran cerna dan seluruh tubuh.
D.
PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh
penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda
asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa.
Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul
suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks
tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum
lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007).
E.
PATHWAY
F.
KLASIFIKASI
1.
Apendisitis
akut
Apendisitis akut adalah : radang pada
jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang
selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab
obstruksi dapat berupa :
a.
Hiperplasi
limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b.
Fekalit
c.
Benda
asing
d.
Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin /
cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa
juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan
infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang
menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
Selain
obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2.
Apendisitis
Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai
edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks
menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia,
dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans
muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3.
Apendisitis
kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat
ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan
keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
4.
Apendissitis
rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika
ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini
terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan
jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen.
Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa
secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
5.
Mukokel
Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari
apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks,
yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan
tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu
kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan
berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di
regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda
apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
6.
Tumor
Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa
ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena
bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan
hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7.
Karsinoid
Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks.
Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah
apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada
muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada
sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan,
karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga
diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan
karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi
ileosekal atau hemikolektomi kanan
G.
MANIFESTASI KLINIK
Appendiksitis memiliki gejala kombinasi
yang khas yang terdiri dari :
Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan
bawah. Nyeri bisa secara
mendadak dimulai perut sebelah atas atau disekitar pusar, lalu
timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah
ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini
dilepaskan nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8 – 38o
celcius. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh disemua
bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak
terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus
buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang
bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
Menurut Betz, Cecily 2000:
1.
Sakit, kram di peri umbilikus menjalar ke kuadran kanan bawah.
2.
Anorexia.
3.
Mual.
4.
Muntah (tanda yang umum, kurang umum pada anak yang lebih
besar).
5.
Demam ringan di awal penyakit, dapat naik tajam pada
peritonitis.
6.
Nyeri lepas.
7.
Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.
8.
Konstipasi.
9.
Diare.
10. Disuria.
11. Iritabilitas.
12. Gejala berkembang
cepat, kondisi dapat di diagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah
munculnya gejala pertama.
Manifestasi klinis menurut
Mansjoer, 2000 :
Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri
di daerah umbilicus/periumbilicus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12
jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan/batuk. Terdapat juga keluhan anorexia, malaise, dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat
konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progesif dan dengan
pemeriksaan sesama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal.
Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda rousing, psoas dan
obturatorpositif, akan semakin menyakinkan diagnosa klinis.
H.
KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan
penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan
tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga
medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah
sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis
10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi
pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%,
10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding
appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan
pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1.
Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang
berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa
ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus.
Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh
omentum
2.
Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang
berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi
dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis
yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak
toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear
(PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
3.
Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum,
merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
I.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan
C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2.
Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi
(USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan
fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi
94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan
96-97%.
3.
Analisa
urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4.
Pengukuran
enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung
empedu, dan pankreas.
5.
Serum
Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan
kehamilan.
6.
Pemeriksaan
barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan
Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7.
Pemeriksaan
foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai
arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu
ureter kanan.
Nama pemeriksaan
|
Tanda dan gejala
|
Rovsing’s
sign
|
Positif
jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul
nyeri pada sisi kanan.
|
Psoas
sign atau Obraztsova’s sign
|
Pasien
dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan.
Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.
|
Obturator
sign
|
Pada
pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
|
Dunphy’s
sign
|
Pertambahan
nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk
|
Ten
Horn sign
|
Nyeri
yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan
|
Kocher
(Kosher)’s sign
|
Nyeri
pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah
ke kuadran kanan bawah.
|
Sitkovskiy
(Rosenstein)’s sign
|
Nyeri
yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
|
Aure-Rozanova’s
sign
|
Bertambahnya
nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif
Shchetkin-Bloomberg’s sign)
|
Blumberg
sign
|
Disebut
juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan
tiba-tiba
|
J.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
penderita Apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
1.
Penanggulangan
konservatif
Penanggulangan konservatif terutama
diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa
pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan
dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2.
Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas
ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang
appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik
dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan
drainage (mengeluarkan nanah).
3.
Pencegahan
Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi
intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium.
Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis
atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian
antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
K.
PENGKAJIAN
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Identitas Klien
Umur: Biasanya apendisitis lebih sering terjadi
pada usia 10-30 tahun.
Jenis kelamin: Laki-laki leih sering terkena
apendisitis dari pada wanita.
2. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya
tahan tubuh penderita akan lebih baik dari pada tinggal di lingkungan yang
kotor. Hal itu akan mencegah masuknya cacing askariasis ke dalam lumen
apendiks.
3. Riwayat keperawatan
· Riwayat kesehatan saat ini: keluhan
nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu
tubuh, peningkatan leukosit.
·
Riwayat
kesehatan masa lalu
4. Pemeriksaan Fisik
·
Inspeksi
à Pada
apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
·
Palpasi
à Pada
daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan
apabila tekana pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit diperut
kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
·
Pemeriksaan
colok dubur à Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
untuk menentukan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
·
Uji
psoas dan uji obturator à Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
otot psoas mayor lewat hiperekstensi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan
fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis pelvika.
5. Pemeriksaan Penunjang
·
Laboratorium:
terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/ml (leukositosis)
dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat.
· Radiologi: terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan
CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangakan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit
serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta
pelebaran sekum.
6. Perubahan Pola Fungsi
·
Aktivitas / istirahat
Gejala: Malaise.
·
Sirkulasi
Tanda: Takikardi
·
Eliminasi
Gejala: Konstipasi pada awitan awal. Diare
(kadang-kadang).
Tanda: Distensi abdomen, nyeri tekan / nyeri
lepas, kekakuan. Penurunan atau tidak ada bising usus.
·
Makanan / cairan
Gejala: Anoreksia, Mual / muntah
·
Nyeri / kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan
umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney
(setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat
karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba
diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai
rasa nyeri/ gejala tak jelas (sehubungan dengan lokasi apendiks, contoh:
retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda: Perilaku berhati-hati; berbaring
kesamping atau telentang dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan
bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak. Nyeri lepas pada
sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.
·
Pernafasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
·
Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah).
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
PRE OP
1.
Nyeri Akut b.d proses infeksi
2.
Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume
aktif
3.
Ansietas b.d. krisis situasional
POST OP
1.
Nyeri Akut b.d. luka post appendictomy
2.
Kerusakan Integritas Jaringan b.d. prosedur operasi
3.
Resiko Infeksi
4.
Kurang Pengetahuan b.d. kurang informasi
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
||||||||||||||||||||||||
Nyeri
b/d :
□ Agen cederah
fisik
□ Agen cedar
biologis
□ Agen cedera
psikologis
□ Agen cederah
zat kimia.
|
NOC :
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ……… x 24 jam nyeri terkontrol.
Kriteria
hasil :
Keterangan
:
|
NIC
:
Manajemen
nyeri :
1.
Kaji secara komperhensif tentang nyeri,
meliputi : skala nyeri, lokasi, karakteristik dan onset, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas / beratnya nyeri, dan factor-faktor presipitasi.
2.
Observasi isyarat-isyarat non verbal dari
ketidaknyamanan.
3.
Kolaborasi pemberian analgetik sesuai dengan
anjuran sebelum memulai aktivitas.
4.
Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat
mengekspresikan nyeri.
5.
Kaji latar belakang budaya klien.
6.
Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan
mengontril nyeri yang telah digunakan.
7.
Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga.
8.
Berikan informasi tentang nyeri, seperti :
penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan.
9.
Motivasi klien untuk memonitor sendiri nyerinya.
10. Ajarkan
penggunaan teknik relaksasi napas dalam.
11. Evaluasi
keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri.
12. Tingkatkan
tidur / istirahat yang cukup.
13. Beritahu dokter
jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan.
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Resiko / kekurangan volume cairan
B / d :
□
kehilangan
cairan aktif (muntah, diare)
□
kegagalan
mekanisme regulasi
|
NOC:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan …x24 jam, kelebihan volume cairan dapat berkurang atau teratasi.
Kriteria hasil :
Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang – kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan.
|
NIC :
Monitoring :
1. Observasi status mental
2. Monitor output urine dan catat
adanya perubahan jumlah, warna dan
konsentrasi urine.
3. Monitor turgor kulit, membrane
mukosa dan perasaan haus klien.
4. Monitor adanya tanda dehidrasi.
5. Ukur tanda-tanda vital dan CVP.
6. Ukur CRT, kondisi dan suhu
kulit.
7. Timbang berat badan sesuai
indikasi.
8. Kaji status mental
Mandiri :
1. Memasang dan mempertahankan
akses vena perifer (infus)
2. Berikan perawatan kulit pada
bbagian penonjolan tulang.
Pendidikan kesehatan
1. Ajurkan klien untuk meningkatkan
intake cairan.
2. Anjurkaan klien untuk
meningkatkan intake nutrisi untuk meningkatkan kadar albumin dalam darah.
Kolaborasi :
1. Beri terapi cairan sesuai
instruksi dokter.
2. Beri transfuse darah sesuai
hasil kolaborasi dengan medis.
3. Berikan terapi farmakologi untuk
meningkatkan jumlah urine output.
4. Kolaborasi pemeriksaan kadar
elektrolit, BUN, creatinin dan kadar albumin.
|
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
|
TUJUAN
DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
|||||||||||||||
Ansietas
B / d :
□
Faktor keturunan
□
Krisis situasional
□
Stress
□
Perubahan status kesehatan
□
Ancaman kematian
□
Perubahan
konsep diri
□
Kurang
pengetahuan
□
Hospitalisasi
|
NOC:
Setelah dilakukan intervensi
keperawatan selama .... x 24 Jam, kecemasan teratasi.
Kriteria hasil :
Keterangan :
1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang – kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan.
|
NIC :
Monitoring :
1.
Gunakan pendekatan yang menenangkan
2.
Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
3.
Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4.
Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
5.
Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
6.
Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
7.
Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
8.
Dengarkan dengan penuh perhatian
9.
Identifikasi tingkat kecemasan
10. Bantu
pasien mengenal situasi yang menimbulkan
kecemasan
11. Dorong
pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan persepsi
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
|||||||||||||||
Resiko
tinggi Infeksi
B
/ d :
□ Prosedur Invasif
□ Kerusakan jaringan dan
□ peningkatan paparan lingkungan
□ Malnutrisi
□ Peningkatan paparan lingkungan pathogen
□ Imunosupresi
□ Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb,
□ Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
□ Penyakit kronik
□ Pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan,
gangguan peristaltik)
|
NOC:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .. x
24 jam, pasien tidak mengalami
infeksi.
Kriteria
hasil :
Keterangan
:
1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang – kadang
menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan.
|
NIC
:
Monitoring :
1.
Batasi
pengunjung bila perlu
2.
Tingkatkan
intake nutrisi
3.
Monitor
tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
4.
Pertahankan
teknik isolasi k/p
5.
Inspeksi
kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
6.
Monitor
adanya luka
7.
Kaji
suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
Mandiri :
8.
Pertahankan
teknik aseptif
9.
Cuci
tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
10. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung
11. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
12. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
13. Dorong masukan cairan
14. Dorong istirahat
Pendidikan
Kesehatan
1.
Ajarkan
pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Kolaborasi :
1.
Berikan
terapi antibiotik
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
||||||||||||
Kurang
pengetahuan
B
/ d :
□ Keterbatasan kognitif
□ Interpretasi informasi
yang salah
□ Kurang keinginan untuk
mencari informasi
□ Tidak mengetahui sumber-sumber
informasi
|
NOC:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .. x
24 jam, pasien tidak mengalami
infeksi.
Kriteria
hasil :
Keterangan
:
6. Tidak pernah menunjukan
7. Jarang menunjukan
8. Kadang – kadang
menunjukan
9. Sering menunjukan
10. Selalu menunjukan.
|
NIC
:
Pendidikan
Kesehatan
1.
Kaji
status mental abnormal
2.
Berikan
penilaian tentang tngkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang proses
penyakit yang spesifik
3.
Jelaskan
patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat
4.
Gambarkan
tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
5.
Sediakan
informasi pada pasien dan keluarga tentang kondisi, proses perawatan, cara
merawat, prosedur tindakan
6.
Sediakan
informasi untuk klien dan keluarga mengenai kemajuan kondisi
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
|
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
||||||||||||||||||
Kerusakan
Integritas Jaringan
B
/ d :
□ Rusaknya Jaringan
|
NOC:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .. x
24 jam, pasien tidak mengalami
infeksi.
Kriteria
hasil :
Keterangan
:
1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang – kadang
menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan.
|
NIC
:
Monitoring
·
Monitor
proses penyembuhan pada luka post op
·
Kaji
luka post op akan adanya kemerahan, edema, atau tanda-tanda dehidence dan
evisceration
·
Monitor
adanya tanda-tanda infeksi
Mandiri
·
Catat
karakteristik drainage
·
Lakukan
rawat luka sesuai jadwal dan dengan menggunakan teknik steril
·
Gunakan
balutan primer dan sekunder yang sesuai
·
Ganti
dressing sesuai jadwal
·
Bersihkan
luka dari are bersih ke kotor
·
Angkat
jahitan, closure strip, dan staples sesuai indikasi
Pendidikan
Kesehatan
·
Edukasi
klien dan keluarga untuk memperhatikan kebersihan, mobilisasi dan nutrisi
·
Anjurkan
klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi protein
Kolaborasi
·
Kolaborasi
pemberian antibiotik
|
0 komentar
Posting Komentar