Minggu, 12 Agustus 2018

Laporan Pendahuluan (LP) Apendisitis / Apendiksitis NANDA NIC NOC

Laporan Pendahuluan (LP) Apendisitis / Apendiksitis NANDA NIC NOC


1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, 2004). 
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, 2004). 

normal apendiks, contoh apendiks manusia, apendiks hewan, apendiks tumbuhan, apendisitis
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, 2004).

2. Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (mansjoer, 2000).  Apendisitis adalah infeksi pada apendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasia jaringan limfoid dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Erosi mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti E. Coli. Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi akut kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat. Pria lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang dewasa. Insiden tertinggi adalah mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman, 2000).

3. Kalsifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik
(Sjamsuhidayat, 2005).
  1. a) Apendisitis akutApendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
  1. b) Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

4. Epidemiologi

Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah indonesia  hingga  saat  ini  masih  tinggi.  Di  Indonesia,  jumlah  pasien  yang  menderita  penyakit  apendiksitis  berjumlah  sekitar  7%  dari  jumlah  penduduk  di  Indonesia  atau sekitar  179.000  orang.  Dari  hasil  Survey  Kesehatan  Rumah  Tangga  (SKRT)  di  indonesia, apendisitis  akut  merupakan  salah  satu  penyebab  dari  ikut  abdomen  dan beberapa indikasi  untuk  dilakukan  operasi  kegawatdaruratan  abdomen.  Insidens apendiksitis  di Indonesia  menempati  urutan  tertinggi  di  antara  kasus  kegawatan  abdomen lainnya (Depkes 2009).
Data  epidemiologi  apendisitis  jarang  terjadi  pada  balita,  insidennya  hanya  1%. Apendisitis mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja  dan  awal  20-an,  sedangkan  penderita  apendisitis  mengalami  penurunan menjelang dewasa (Pieter,2005). Hal ini berkaitan dengan bentuk anatomis dari apendiks pada laki-laki lebih lurus  daripada apendiks perempuan, sehingga resiko untuk masuknya makanan dan terjadi sumbatan lebih tinggi.  
apendiks normal, normal apendiks, apendiks, apendiksitis

5. Etiologi dan faktor resiko Apendisitis

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah E. coli  (Sjamsuhidajat, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2004).
6. Patofisiologi
Terlampir

7. Manifestasi klinis

Menurut Pieter, 2005 manifestasi klinis apendisitis akut antara lain:

1. Tanda awal
  • Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksia

2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di
titik Mc Burney
  •  nyeri tekan
  •  nyeri lepas
  •  defans muskuler

3. nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
  •  nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
  •  nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
  •  nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
  • mengedan

8. Pemeriksaan Diagnostik Apendisitis

a) Pemeriksaan Fisik
  1. Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat distensi perut.
  2. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
  3. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic. 
  4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.

b) Tes laboratorium 
Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm³ dengan pergeseran ke kiri (lebih dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen diantaranya leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal. Tetapi beberapa pasien dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak sejumlah kecil eritrosit atau leukosit.

c) Foto sinar-X
Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema mungkin dapat untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus yang meragukan

d) Appendikogram

Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.



e) Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 9697%.

f) Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.

g) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas. 

h) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan. 

i) Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.

j) Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

9. Penatalaksanaan

Bila  diagnosis  klinis  sudah  jelas,  tindakan  paling  tepat  dan  merupakan  satu -satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa  komplikasi biasanya tidak diperlukan  pemberian  antibiotik,  kecuali  pada  apendisitis  gangrenosa  atau  apendisitis  perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi (Sjamsuhidajat, 2004).  
Apendektomi  bisa  dilakukan  secara  terbuka  ataupun  dengan  cara  laparskopi.  Bila apendektomi  terbuka,  insisi  McBurney  paling  banyak  dipilih  oleh  ahli  bedah.  Pada penderita  yang  diagnosisnya  tidak  jelas  sebaiknya  dilakukan  observasi  terlebih  dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat, 2004). 
Penanggulangan  konservatif  terutama  diberikan  pada  penderita  yang  tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik

Operasi 
Bila  diagnosa  sudah  tepat  dan  jelas  ditemukan  appendicitis  maka  tindakan  yang dilakukan  adalah  operasi  membuang  appendiks  (appendektomi).  Penundaan appendektomi  dengan  pemberian  antibiotik  dapat  mengakibatkan  abses  dan  perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini  dilakukan dengan bantuan  video  camera  yang  dimasukkan  ke  dalam rongga perut  sehingga  jelas  dapat  melihat  dan  melakukan  appendektomi  dan  juga  dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

Adapun pendapat lain, adalah sebagai berikut :
Penatalaksanaan apendisitis tergantung dari nyeri apendisitisnya akut atau kronis.Penatalaksanaan  bedah  ada  dua  cara  yaitu  non  bedah  (non  surgical)  dan pembedahan (surgical).

1. Non bedah (non surgical)
Penatalaksanaan ini dapat berupa :
  • a. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
  • b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses pasase makanan
  • c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada makanan  
  • d. Hindari makan bersuhu ekstrim, pedas, berlemak, alkohol, kopi, coklat, dan jus jeruk
  • e. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah refluks
  • nonturnal
  • f. Tinggikan kepala tidur 6-8 inchi untuk mencegah refluks nonturnal
  • g. Turunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkan gradient tekanan gastro
  • esophagus
  • h. Hindari tembakan, salisilat, dan fenibutazon yang dapat memperberat esofagistis.
2. Pembedahan
Yaitu  dengan  apendiktomi.  Operasi  apendisitis  dapat  dipersiapkan  hal -hal  sebagai
berikut: 
Insisi tranversal 5 cm atau oblik dibuat di atas titik maksimal nyeri tekan atau massa yang  dipalpasi  pada  fosa  iliaka  kanan.  Otot  dipisahkan  ke  lateral  rektus abdominalis. Mesenterium  apendikular  dan  dasar  apendiks  diikat  dan  apendiks  diangkat.  Tonjolan ditanamkan  ke  dinding  sekum  dengan  menggunakan  jahitan  purse  string  untuk meminimalkan kebocoran intra abdomen dan sepsis. Kavum peritoneum dibilas dengan larutan tetrasiklin dan luka ditutup. Diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka sepsis pasca operasi yaitu metronidazol supositoria (Syamsuhidayat, 2004).

10. KOMPLIKASI

Komplikasi  utama  apendisitis  adalah  perforasi  apendiks  yang  dapat  berkembang  menjadi peritonitis  atau  abses.  Insidens  perforasi  adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi  pada  anak  kecil  dan lansia.  Perforasi  secara  umum  terjadi  24  jam  setelah  awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan  toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
Komplikasi  yang  paling  sering  adalah  perforasi  apendisitis.  Perforasi  usus  buntu dapat  mengakibatkan  periappendiceal abses  (pengumpulan nanah  yang  terinfeksi)  atau peritonitis difus  (infeksi  selaput  perut  dan  panggul).  Alasan  utama  untuk  perforasi appendiceal  adalah  keterlambatan  dalam  diagnosis  dan  perawatan.  Secara  umum, semakin  lama  waktu  tunda  antara  diagnosis  dan  operasi,  semakin  besar  kemungkinan perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. O leh karena itu, setelah didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda - nunda.  Komplikasi  jarang  terjadi  pada  apendisitis  adalah  penyumbatan  usus.  Penyumbatan terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan otot usus untuk  berhenti bekerja,  dan  ini  mencegah  isi  usus  yang  lewat.  Jika  penyumbatan  usus  di  atas  mulai mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian mungkin  perlu  untuk  mengeluarkan  isi  usus  melalui  pipa  melewati  hidung  dan kerongkongan dan ke dalam perut dan usus.  Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi  masuk  ke  darah  dan  perjalanan  ke  bagian  tubuh  lainnya. 

Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah (Hugh A.F. Dudle y, 1992): 
1. Infeksi luka dan perforasi.
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.  Perforasi  jarang  terjadi  dalam  12  jam  pertama  sejak  awal  sakit,  tetapi meningkat tajam  sesudah  24  jam. Perforasi  dapat diketahui  praoperatif pada 70% kasus  dengan gambaran  klinis  yang  timbul  lebih  dari  36  jam  sejak  sakit,  panas  lebih dari  38,50C, tampak  toksik,  nyeri  tekan  seluruh  perut,  dan  leukositosis  terutama polymorphonuclear (PMN).  Perforasi,  baik  berupa  perforasi  bebas  maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis

2. Abses residual
Abses  merupakan  peradangan  appendiks  yang  berisi  pus.  Teraba  massa  lunak  di kuadran  kanan bawah  atau  daerah  pelvis.  Massa  ini  mula -mula  berupa  flegmon dan berkembang  menjadi  rongga  yang  mengandung  pus.  Hal  ini  terjadi  bila  appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum

3. Sumbatan usus akut, 

4. Ileus paralitik

5. Fistula tinja eksternal

6. Peritonitis
Peritonitis  adalah  peradangan  peritoneum,  merupakan  komplikasi  be rbahaya  yang dapat terjadi  dalam  bentuk  akut  maupun  kronis.  Bila  infeksi  tersebar  luas  pada permukaan  peritoneum  menyebabkan  timbulnya  peritonitis  umum.  Aktivitas  peristaltik berkurang sampai  timbul  ileus  paralitik,  usus  meregang,  dan  hilangnya  cairan  elek trolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. 

11. Pencegahan

Pencegahan Primer 
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian appendicitis.
Upaya  pencegahan  primer  dilakukan  secara  menyeluruh  kepada masyarakat. Upaya yang
dilakukan antara lain: 

a. Diet tinggi serat 
  • Berbagai  penelitian  telah  melaporkan  hubungan  antara  konsumsi  serat  dan insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet  tinggi  serat mempunyai  efek  proteksi  untuk  kejadian  penyakit  saluran pencernaan.  Serat  dalam makanan  mempunyai  kemampuan  mengikat  air, selulosa,  dan  pektin  yang  membantu  mempercepat  sisi -sisa  makanan  untuk diekskresikan  keluar  sehingga  tidak  terjadi konstipasi  yang  mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.

b. Defekasi yang teratur 
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
  • mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan  keteraturan  pola aktivitas  peristaltik  di  kolon.  Frekuensi  defekasi  yang  jarang akan  mempengaruhi konsistensi  feces  yang  lebih  padat  sehingga  terjadi  konstipasi. Konstipasi  menaikkan tekanan  intracaecal  sehingga  terjadi  sumbatan  fungsional appendiks  dan  meningkatnya pertumbuhan  flora  normal  kolon.  Pengerasan  feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media  kuman/bakteri  berkembang  biak sebagai  infeksi  yang  menimbulkan peradangan pada appendiks

Pencegahan Sekunder 
Pencegahan  sekunder  meliputi  diagnosa  dini  dan  pengobatan  yang  tepat  untuk mencegah
timbulnya komplikasi




12. ASKEP Teori
Menurut Doenges (2000) pengkajian pada pasien dengan :
a. Pre Appendiktomi
1)      Aktivitas
  • Gejala : Malaise

2)      Sirkulasi
  • Tanda: Tachicardia

3)      Eliminasi
  • Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
  • Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan penurunan/ tidak ada bising usus
4)      Makanan/ cairan
  • Gejala : Anoreksia, mual/muntah
5)      Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang meningkat berat dan
  • terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan). Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. (W. De Jong,R. Sjamsuhidajat, 2004)
  • Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.

6)      Keamanan
  • Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada
komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

7)      Pernafasan
  • Tanda : takipnea/ pernafasan dangkal

8)      Penyuluhan/ pembelajaran
  • Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada berbagai usia

b.      Post Appendiktomi

1)      Sirkulasi
  • Gejala : riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer.

2)      Integritas ego
  • Gejala : perasaan takut, cemas, marah, apati.
  • Tanda : tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang, stimulasi simpatis

3)      Makanan/ cairan
  • Gejala : insufisiensi pangkreas, malnutrisi, membran mukosa yang kering

4)      Pernafasan
  • Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok

5)      Keamanan
  • Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga tentang hipertermi malignan/reaksi anastesi, riwayat penyakit hepatik, riwayat transfusi darah
  • Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah, demam


A. Diagnosa Keperawatan pre op
1. Hipertermi


DS :
- Klien mengeluh
demam

DO : 
- suhu : 38,5
0
 c
- Leukosit : 30000/
dl
 

Etiologi

Inflamasi apendiks

apendisitis

Reaksi inflamasi

Merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang

Menstimulasi pusat termoregulator di hypothalamus

Peningkatan suhu tubuh

Hiperthermi


Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolism akibat peradangan
 
2. Nyeri akut/kronis
  • - mengeluh nyeri perut kanan
  • - Nyeri hilang timbul
  • - Kadang menyebar disektar umbilicus
Etiologi

Inflamasi apendiks

apendisitis

Respon peradangan
Nyeri akut
- Skala nyeri 8
DO:
- Nyeri tekan lepas
- Nadi : 110x/menit
- RR : 25 x/m

Pelepasan mediator nyeri (histamin, bradikinin, prostaglandin, serotonin)

Merangsang nosiseptor pada ujung saraf bebas

Pengiriman impuls nyeri ke medulla spinaslis (N. Thorakalis X)

nyeri

INTERVENSI keperawatan


1. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolism akibat peradangan 

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, masalah
keperawatan hipertermi dapat diatasi dengan

Kriteria hasil (NOC):
a. Thermoregulation
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5 C)
- Kulit tidak teraba panas
- Nadi dan RR dalam rentang normal (RR: 16-20x/menit, N: 60-100x/menit) 

Intervensi (NIC)
a. Fever treatment 
  •  Kaji suhu tubuh klien secara berkala 
  •  Monitor warna dan suhu kulit 
  •  Monitor tekanan darah, nadi, dan RR 
  •  Monitor WBC, Hb, dan Hct 
  •  Berikan kompres air dengan suhu normal; hindari penggunaan alkohol. 
  •  tingkatkan sirkulasi udara 
  •  catat adanya fluktuasi tekanan darah 
  •  monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membrane mukosa 
  •  Pantau intake dan output pasien 
  •  Dorong pasien untuk meningkatkan intake cairannya 
  •  Kolaborasikan dengan tim medis tentang pemberian antipiretik 
  •  Kolaborasikan pemberian cairan IV 

2. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan agen cidera
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, nyeri dapat diatasi
dengan

Kriteria hasil (NOC):
a. Pain Level
- Melaporkan nyeri berkurang
- Ekspresi wajah menunjukan penurunan nyeri
- RR : 20 x/menit
- Nadi : 80 x/ menit

Intervensi 
a. Pain management
  •  Kaji nyeri (lokasi, karakter, onset/durasi, frekuensi, intensitas).
  •  Amati isyarat nonverbal ketidaknyamanan.
  •  Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui riwayat nyeri klien.
  •  Kaji pengetahuan dan kepercayaan klien tentang nyeri.
  •  Kaji penggunaan metode pereda nyeri farmakologi saat ini.
  •  Tentukan pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup klien (nafsu makan, aktifitas).
  •  Berikan informasi kepeda klien tentang penyebab nyeri.
  •  Kontrol lingkungan yang dapat mempegaruhi respon nyeri klien.
  •  Kurangi/ hilangkan faktor yang dapat meningkatkan nyeri.
  •  Pastikan pemberian analgesic farmakologi sebelum prosedur operasi.

b. Asuhan Keperawatan Post Op

Diagnosa:
1. Resiko Infeksi
 faktor resiko
- Terdapat luka bekas oprasi Post appendiktomi

Teputusnya kontinuitasjaringan akibat insisi

Resiko pemajanan mikro organism

Resiko infeksi

Resiko Infeksi Berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adequate  

2. Nyeri Akut

DS:
  • - Klien mengeluh nyeri pada area operasi

DO:
  • - Nadi : 110x/menit
  • - RR : 25 x/m
Post Appendiktomi

Teputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi

Berkurangnya efek anastesi

Pengiriman impuls nyeri ke medulla spinalis oleh serabut  saraf sekitar

Nyeri akut

Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera (post operasi)

3. Kerusakan Integritas Jaringan
Do :
  • - Terdapat luka bekas
Post operasi

Teputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi  Kerusakan integritas  jaringan berhubungan  dengan faktor mekanik  oprasi pengambilan jaringan apendik yang radang

Kerusakan integritas jaringan


INTERVENSI

1. Resiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adequate
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, resiko infeksi klien dapat diatasi dengan

Kriteria hasil (NOC):

Tissue Integrity : kulit dan mucous membrane
  • - Temperatur kulit disekitar luka sama dengan di temperature di area yang perut
  • - Tekstur dan Integritas kulit sekitar luka baik
  • -  Pigmen warna kulit yang luka merah segar dan tak ada tanda-tanda necrosis
Intervensi (NIC)
a. Infection Control
  •  Monitor status hemodynamic pasien (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit)
  •  Kontrol lingkungan untuk mencegah infeksi
  •  Perawatan dan pergantian peralatan atau protocol yang digunakan pasien (pergantian balutan sesuai indikasi)
  •  Lakukan teknik aseptic pada setiap prosedur tindakan invasive yang ditujukan pada pasien (seperti saat penggantian balutan menggunakan sarung tangan steril)
  •  Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan pada pasien
  •  Ajari pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi
  •  Berikan antobiotik jika diperlukan
b. Infection Protection
  •  Monitor tanda dan gejala sistemik yang berhubungan dengan infeksi
  •  Observasi kulit, jaringan, dan mucous membrane pada luka dan sekitar luka
  •  Tingkatkan intake nutrisi dan cairan untuk menunjang penyembuhan luka pasienmenjadi cepat
  •  Anjurkan meningkatkan istirahat untuk mempercepat proses penyembuhan luka
  •  Ajari pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala infeksi serta bagaimana cara untuk menghindari resiko infeksi (misalnya : modifikasi lingkungan untuk mencegah timbulnya sarang kuman, bakteri atau virus)

2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera (post operasi)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, nyeri klien berkurang dengan 

Kriteria hasil:

Pain level 
  • - Mengatakan nyeri berkurang
  • - Ekspresi wajah menunjukan nyeri berkurang
Pain control
  • - Melaporkan nyeri berkurang
Intervensi
NIC:
Pain Management
  •  Kaji keluhan nyeri klien secara komprehensif termasuk lokasi,karakteristik, onset/durasi,frekuensi, kualitas, intensitas dan besarnya keluhan nyeri yang dirasakan klien.
  •  Observasi tanda non verbal klien akibat nyeri
  •  Kaji pengaruh budaya terhadap persepsi nyeri klien
  •  Kaji faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan persepsi nyeri klien, seperti lingkungan, suhu, suara dan lain-lain
  •  Jelaskan  kondisi yang dialami klien saat ini
  •  Kolaborasikan pemberian analgesik yang sesuai untuk kondisi klien
  •  Anjurkan klien untuk istiharahat secara adequate untuk mempercepat penyembuhan.
  •  Gunakan strategi komunikasi terapeutik dan teknik relaksasi (pemberian music, nafas dalam, dll) untuk membantu klien untuk meringankan nyeri.
  •  Monitor kepuasan pasien tehadap manajemen nyeri.

3. Kerusakan Integritas Jaringan berhubungan dengan faktor mekanik
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, nyeri klien berkurang dengan

Kriteria hasil (NOC):
a. Tissue integrity : Skin and mucous membranes
- Jaringan bekas luka dapat menutup
- Tidak terjadi nekrosis
- Tidak ditemukan eritema

Intervensi (NIC) :
a. Wound care
  •  Monitor karakteristik dari luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau
  •  Bersihkan dengan normal salin dan nontoxic cleanser
  •  Berikan salep yang cocok untuk lesi
  •  Gunakan teknik steril dressing ketika melakukan perawatan luka
  •  Jelaskan pada pasien untuk menghindari posisi yang dapat menyebabkanketegangan pada luka
  •  Ajarkan pada pasien dan keluarga proses perawatan luka Jelaskan pada pasien tentang tanda-tanda infeksi (rubor, calor, dolor, fungsiolesa) 

Demikianlah Laporan Pendahuluan Apendisitis ini, semoga bermanfaat

0 komentar

Posting Komentar